Bamsoet: Konstitusi Tak Boleh Anti Terhadap Perubahan
10 Maret 2023

Berita Golkar - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menghadiri Sekolah Konstitusi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia 2023, secara virtual di Jakarta, Jumat (10/3). Dalam kesempatan ini, Bamsoet membahas soal urgensi perubahan konstitusi.
Bamsoet menyampaikan setelah hampir seperempat abad perubahan konstitusi pertama pada 1999, kini mulai muncul tuntutan perubahan konstitusi yang disebabkan tantangan zaman dan laju peradaban. Bahkan, MPR telah menerima berbagai masukan dan aspirasi yang dikelompokkan dalam enam pandangan.
Pertama, kata Bamsoet, pandangan yang menghendaki untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang asli, sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, pandangan yang menginginkan penataan atau penyempurnaan sistem ketatanegaraan melalui perubahan kelima UUD NRI Tahun 1945. Ketiga, pandangan yang menghendaki perubahan menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang telah empat kali dilakukan perubahan.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Sosok Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto
"Keempat, pandangan yang menghendaki perubahan terbatas terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yaitu menghadirkan kembali wewenang MPR untuk menetapkan Haluan Negara atau model GBHN, yang pada perkembangan pembahasan di MPR saat ini, dikenal dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Kelima, pandangan yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli, kemudian diperbaiki dan disempurnakan kembali melalui addendum. Keenam, pandangan yang menilai bahwa sistem ketatanegaraan kita pada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Jumat (10/3/2023).
Terkait hal ini, Ketua DPR RI ke-20 ini menilai konstitusi yang diperjuangkan idealnya adalah konstitusi yang 'hidup' (living constitution), dan 'bekerja' (working constitution). Adapun konstitusi yang hidup adalah yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Sedangkan konstitusi yang 'bekerja' adalah yang benar-benar dijadikan rujukan, dilaksanakan, dan bermanfaat dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: Zainudin Amali Resmi Mengundurkan Diri Dari Jabatan Menpora RI
"Karena konstitusi terikat oleh realitas zaman, maka agar 'hidup' dan 'bekerja', Konstitusi tidak boleh 'anti' terhadap perubahan. Mengingat perubahan zaman merupakan keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindarkan. Tugas kita adalah memastikan bahwa perubahan tersebut menuju ke arah yang lebih baik, dengan mengedepankan sikap kenegarawanan, menjunjung tinggi kehendak daulat rakyat, serta memastikan kelestarian nilai-nilai luhur yang menjadi original intent para founding fathers dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia," jelasnya.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini pun menambahkan berdasarkan landasan yuridis, setiap gagasan amandemen konstitusi tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi melalui proses dan tahapan sesuai mekanisme dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945.
Adapun mekanisme ini di antaranya, diusulkan oleh sekurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR, diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, sidang MPR dihadiri sekurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR, dan disetujui oleh sekurangnya 50 persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.
"Karena itu, pandangan berbagai pihak bahwa rencana MPR RI melakukan amandemen konstitusi untuk menghadirkan PPHN sebagai road map pembangunan bangsa, bisa menjadi bola liar memperpanjang masa jabatan presiden ataupun menambah masa jabatan periodisasi presiden, sebetulnya tidak tepat. Mengingat tahapannya dari awal sudah jelas, yakni hanya untuk menghadirkan PPHN. Namun demikian, untuk menghindari kegaduhan politik dan memastikan kondusivitas bangsa tetap sejuk, MPR RI telah memiliki terobosan baru dalam menghadirkan PPHN tanpa melalui amandemen, yakni melalui konvensi ketatanegaraan," pungkasnya. (sumber)
fokus berita : # Bambang Soesatyo #Bamsoet